0
Oleh Andreas Kandenapa*

Dalam refleksi bulan suci Ramadhan yang disampaikan oleh Bapak Presiden Selasa 24 Juli 2012, SBY mengajak umat muslim dan segenap bangsa Indonesia merefleksikan berbagai pencapaian bangsa. Presiden menyatakan bahwa momen Ramadhan kali ini menjadi istimewa karena bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Proklamasi NKRI 17 Agustus 2012. Beliau mengingatkan agar kita jangan terlena dengan berbagai pencapaian yang telah ada namun mari bersama-sama merenungkan kembali makna kemerdekaan sambil memupuk semangat bagi perjuangan meraih apa yang belum kita raih (Republika Online edisi Selasa, 24 Juli 2012).
Dari berbagai pencapaian Indonesia, khususnya dalam prestasi-prestasi ekonomi di pasar finansial kita patut berbangga. Indonesia telah menjadi salah satu emerging market yang diminati investor antar-bangsa. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai lebih dari 6 % pada akhir tahun 2011 dan awal tahun 2012. Namun, di dalam keseharian masyarakat yang terjadi adalah sebuah ironi. Indonesia begitu di puji oleh banyak kalangan internasional dengan prestasi finansialnya tapi rakyat Indonesia dari hari ke hari makin merasa gerah dengan situasi ekonomi.
Dalam buku karangan Prof. DR. Eriyatno, Guru Besar pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB beliau mengemukakan data yang mencengangkan. Dari 230 juta penduduk Indonesia hanya sekitar 19.000 orang kaya raya (High Net Worth Individual) yang 80 % diantaranya berada di Jakarta, 12,6 % di Surabaya, dan 3,5 % di Bandung. Mereka bergelimang harta, sedangkan ratusan juta rakyat jelata Indonesia yang tinggal di pedalaman, pedesaan, pulau-pulau kecil, pesisir pantai dan perbatasan hidup dalam jerat kemiskinan.
Pada tahun 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30 juta jiwa. Dengan 37 % berada di perkotaan dan 63 % berada di pedesaan. Masalah nasional berikutnya adalah pengangguran. Dari jumlah total angkatan kerja 118,67 juta orang, yang setengah menganggur berjumlah 32,8 juta orang. Estimasi total pengangguran di tahun 2011 adalah 7 %.
Lalu apakah arti emerging market bagi ratusan juga rakyat jelata Indonesia? Apakah arti pertumbuhan ekonomi yang hampir mencapai 7% itu bagi mereka? Boleh dikatakan “kue pembangunan” ini hanya dinikmati segelintir orang saja.
Pembangunan ekonomi yang seakan hanya berpihak pada segelintir orang saja ini benar-benar menjadi keresahan. Bagaimana tidak, bukankah konstitusi negara ini menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Keadaan ini telah membawa banyak ilmuwan dan praktisi ekonomi dalam negeri menyadari adanya suatu paham neoliberalisme dalam pasar finansial Indonesia. Mengapa? Dari berbagai ciri, seperti bisa kita lihat dalam buku karangan Prof. Eriyatno berjudul Membangun Ekonomi Komparatif, sudah terjadi (atau setidaknya menunjukan gejala demikian). Keberpihakan pemerintah pada investor dengan cara deregulasi pasar, privatisasi BUMN dan komersialisasi layanan publik adalah beberapa contoh yang nyata yang telah terjadi dalam kebijakan publik pemerintah.
Petifor (2003) dalam World Economic Outlook the Legaly of Globalization: dept and deflation menyatakan bahwa neoliberalisme adalah suatu filosofi politik dan ekonomi yang cenderung mengangkat pasar pada posisi yang dominan, serta memprioritaskan privatisasi, efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dari pada tujuan-tujuan lainnya termasuk redistribusi dan keadilan sosial. Dengan kata lain, neoliberalisme adalah suatu paham yang membiarkan pasar menemukan keseimbangannya sendiri (self-regulating market) dengan intervensi pemerintah yang minimum. Para praktisi neoliberal mendasarkan paham ini pada teori “invisible hand” atau “tangan gaib” yang diperkenalkan oleh Adam Smith.
Terdapat tiga ilusi dasar mengenai perilaku pasar yang diyakini ada dalam pasar bebas dan digerakan oleh “tangan gaib”. Ketiga ilusi itu adalah ilusi stability (keyakinan tentang kemampuan pasar untuk kembali ke posisi equilibrium dengan sendirinya), ilusi predictability (keyakinan akan adanya pola reguler pada pasar yang mampu di prediksi dengan model matematik) dan ilusi harmony (keyakinan tentang adanya keadilan sosial di pasar bebas).
Dalam kisruh pasar finansial akhir-akhir ini, ketiga ilusi itu ternyata memang hanya keyakinan kosong. Dimulai dengan colaps di pasar properti AS pada awal tahun 2008 yang merambat sampai ke seluruh Eropa dan merontokan harga saham-saham di seluruh dunia. Kejadian ini memaksa pemerintah, baik di AS maupun Eropa, mengamankan sistem perbankan mereka dengan melakukan bail out dengan nilai ribuan triliun rupiah. Bahkan, negara-negara zona Euro memiliki beban tambahan sebagai donor bagi Spanyol, Italia, Irlandia dan Yunani yang berada di ujung tanduk kebangkrutan. Stabilitas pasar ternyata hanya mimpi, pasar tetap membutuhkan suntikan dana dari pemerintah (bail out) yang notabene berasal dari uang rakyat (pajak) yang sebagian besar tidak pernah menikmati dana besar dan segar di pasar finansial. Dampak lanjutannya pun menjadi sulit diprediksi, bahkan hampir tidak ada yang tahu pasti kapan krisis keuangan di zona Euro akan berakhir.
Di Indonesia kita sama-sama berharap dan berdoa bahwa kasus yang sama tidak akan pernah terjadi. Namun, seperti pesan Bapak Presiden di awal tulisan ini mari kita merefleksikan perjalanan bangsa ini. Sejenak kita refleksikan arti kemerdekaan yang telah diwariskan oleh para pejuang dan bagaimana arti kemerdekaan itu bagi kita sendiri. Mari melihat dengan lebih jeli dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah khususnya yang menyangkut pasar finansial. Pastikan bahwa kebijakan itu pro-rakyat dan bukan pro-kapital. Kita pastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil menjunjung tinggi kemerdekaan hakiki yang telah diamanatkan kepada kita : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Neoliberalisme memang benar-benar ada dan keberadaannya dapat menjadi paham yang merusak keadilan sosial-ekonomi bagi bangsa ini. Pemerintah seyogiyanya tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja tapi juga pemerataannya. Regulasi terhadap pasar finansial sebaiknya dimutakhirkan agar dapat menyamankan investor dan disaat bersamaan tetap pro-rakyat. Jangan sampai terbentuk rentenir berkerah putih yang dibiarkan memeras bangsa dari lantai-lantai bursa efek.

*Mahasiswa Departeman Teknik Sipil dan Lingkungan
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Posting Komentar

 
Top