0
 Oleh : Andreas Kandenapa
Ketika menjalani masa sekolah di tingkat SMP di Timika, Papua, saya banyak memperoleh pengalaman yang membuat saya dapat mengerti dan merasakan keadaan yang terjadi di area sekitar eksplorasi Freeport tersebut. Perang suku, kemiskinan, marginalisasi masyarak
at, masalah moralitas, lingkungan dan adat serta keseharian masyarakat suku Amugme dan Komoro yang membuat miris.
Pemandangan pemuda yang mabuk sampai jatuh tertidur di selokan, kehidupan foya-foya dan seks bebas benar-benar merasuki keseharian masyarakat disana. Belum lagi mama-mama penjual pernak-pernik dan makanan khas Papua yang berjualan dengan tikar tepat di depan Shoping Centre di Kuala Kencana.
Sungguh kontras jika kita mengetahui bahwa nilai kekayaan alam yang diraup dari tanah adat mereka telah mencapai miliaran dollar AS. Bayangkan saja, nilai investasi Freeport telah mencapai US$ 6,6 miliar dengan proporsi terhadap PDB Indonesia melalui pajak dan dividen mencapai 1,59%.
Dalam laporan studi LPEM FEUI tentang dampak ekonomi dari keberadaan PTFI menunjukan angka yang luar biasa. Penerimaan Negara dari PTFI dalam bentuk pajak, dividen dan pungutan-pungutan lain mencapai US$ 11,4 miliar antara 1992 sampai dengan 2010. Untuk tahun 2010 saja nilainya mencapai 1,9 miliar dolar AS.
Sedangkan masing-masing untuk PDRB Papua dan Kabupaten Timika mencapai presentase 68% dan 98%. Selain itu, presentasi tenaga kerja orang asli Papua di Freeport adalah 28,34% atau 6.478 orang dari 22.381 karyawan. Pihak Freeport menjamin bahwa jumlah itu akan terus meningkat.
Ironisnya, data-data itu tidak bisa serta-merta menjamin bahwa penduduk Papua dan masyarakat Timika khususnya merasakan dampak positif dari perusahaan raksasa itu. Keberadaan Freeport telah membuka kesempatan bagi puluhan kelab malam untuk beroperasi plus PSK-nya. Keberadaan kelab malam dan lokalisasi telah membawa masyarakat Timika menempati posisi urutan pertama jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak di Papua. Kasus miras, kekerasan dan kriminalitas menjadi polemik yang acapkali menjadi pemicu kerusuhan yang menelan korban jiwa.
Belum lagi masalah marginalisasi masyarakat pribumi yang menciptakan kecemburuan sosial terselubung. Mama-mama penjual sagu, ikan asap, pinang, dan makanan khas lain bersaing dengan pedagang asal Buton, Makasar dan Jawa. Konsep bisnis dan menajemen yang tidak terarah dengan baik, serta kurangnya pendampingan membuat pedagang yang kebanyakan ibu rumah tangga ini tidak bisa bersaing dan hanya bisa berjualan di luar gedung pasar di tanah mereka sendiri!
Mereka berjualan dengan beralaskan plastik atau tikar diatas tanah. Jika hujan datang, mereka buru-buru memasukan dagangan mereka ke dalam noken dan menepi sampai hujan reda. Banyak diantara mereka yang juga membawa bayi di dalam noken supaya tetap bisa dijagai sambil berjualan Suatu pemandangan yang sungguh menyedihkan…
Lalu sekarang, PT. Freeport Indonesia berencana memperpanjang kontrak mereka 20 tahun lagi sampai 2041, dengan nilai 16,9 miliar dollar AS. Padahal kontrak mereka baru akan berakhir pada 2021. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Presdir PTFI, Rozik Sutjipto.
Pertanyaan yang paling mendasar mengenai isu ini menurut hemat saya adalah : apakah manfaat langsung dari Freeport masih bisa kita andalkan setelah 42 tahun beroperasi di Papua, sedangkan keadaan masyarakat malah makin terpuruk? Apakah keadilan dan keberpihakan pemerintah pusat dan pemda dalam masalah Freeport telah kita lihat nyata selama ini?
Menanggapi keinginan manajemen Freeport ini, kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah terbagi dalam kebijakan jangka pajang dan jangka pendek. Dalam kebijakan jangka pendek, hal pertama yang perlu dibenahi tentunya adalah pengelolaan dana hasil pajak dan pungutan lain, terutama di Kabupaten Mimika. Tranparansi dalam pengelolaannya perlu diberi perhatian. Dalam banyak kasus, korupsilah yang sebenarnya menjadi akar permasalahan dalam implementasi kebijakan pemerintah daerah.
Selain itu, pengembangan kebijakan berbasis riset, terutama riset sosial-budaya, perlu menjadi prioritas. Acap kali terlihat bahwa proyek-proyek kesejahteraan seperti “rumah bantuan” misalnya, malah ditinggal pemiliknya dan kembali ke hutan. Kejadian seperti itu mengindikasikan pemahaman yang kurang tentang kehidupan social-budaya masyarakat adat. Bottom-up development programme harus jadi basis dalam rencana strategis pembangunan agar dapat berjalan efektif dan efisien.
Manfaat keberadaan Freeport juga seharusnya bukan hanya diusahakan oleh Freeport sendiri. Memang sulit melihat manfaat langsung perusahaan secara holistic, kalau pemerintah daerah kurang sinergis dengan perusahaan khususnya dalam pelaksanaan CSR (Coporate Sosial Responsibility). Sinergisitas harus didasari juga dengan sikap melayani masyarakat, bukannya melayani kepentingan pribadi atau golongan.
Selain itu, peran gereja dalam implementasi CSR juga harus ditingkatkan sebagai lembaga sosial yang punya pengaruh kuat dalam masyarakat. Bahkan, dalam banyak hal masyarakat lebih percaya pada pastor atau pendeta dari pada bupati. Modal social seperti ini perlu sekali untuk dimanfaatkan dalam konteks implementasi CSR.
Untuk jangka panjang, tindakan ekstrem seperti domestifikasi kapital mungkin perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dengan pertimbangan unsur-unsur masyarakat adat serta gereja. Belajar dari Argentina yang mendepak Repsol (perusahaan asal Spanyol) dari negeri mereka, mungkin kita juga harus mulai berani untuk memperjuangkan hak atas sumber daya alam. Jangan sampai kita hanya memperoleh remah-remah dari hasil sumber daya alam kita yang dicuri.
Freeport telah menciptakan polemik berkepanjangan di Timika, Papua. Keberadaannya bahkan tidak disukai oleh banyak pemuka adat disana. Freeport merusak tatanan adat yang telah ada ribuan tahun di tengah masyarakat Amungme dan Komoro.
Jika rakyat kita menderita, masih pantaskah perusahaan itu kita pertahankan?

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB)

Posting Komentar

 
Top