Ketika berbicara Papua, konotasi yang timbul dalam
benak sebagian besar orang adalah suatu tempat di timur Indonesia yang alamnya
kaya-raya, namun menjadi salah satu propinsi terbelakang di Indonesia. Paradoks
mengenai Papua seringkali sekedar menjadi alat propaganda politis dan bukan
lagi suara hati yang merindukan kemajuan.
Pemerintah pusat dan propinsi telah membuat berbagai
kebijakan terkait percepatan pembangunan Papua karena tekanan publik dan untuk
mengantisipasi gerakan-gerakan politis yang pro- disintegrasi. Menurut
pandangan penulis, alasan diataslah yang menjadi pertimbangan utama bergulirnya
otsus sampai dengan UP4B dan bukan lagi kebijakan yang datang dari ketulusan
hati.
Salah satu masalah besar yang kini harus dihadapi
pemerintah dan seluruh orang Papua adalah mengenai pembangunan sumber daya
manusia Papua yang (secara kolektif) belum mampu bersaing di era globalisasi.
Pembangunan SDM berbasis terutama pada pendidikan. Karena itu, program
pendidikan harus menjadi instrument yang dipilih dengan benar dan tepat agar
efektif mengembangkan masyarakat.
Masalah berikutnya yang kemudian timbul adalah
silabus, kurikulum dan program pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah di
Papua selama ini adalah materi dengan indikator keberhasilan berbasis kemampuan
kognitif. Padahal di Papua, indikator keberhasilan berbasis kemampuan kognitif
sulit untuk diterapkan apalagi mengharapkan keberhasilan siswa.
Mengapa? Penulis mengajukan tiga alasan pokok yaitu
pertama, terkait dengan kualitas (tingkat pendidikan dan pengabdian) guru.
Kualitas guru ditentukan oleh tingkat pendidikannya, sedangkan pengabdian guru
ditentukan oleh orientasi dalam melaksanakan tugasnya. Banyak guru di Papua
yang digaji tiap bulan, tapi tidak pernah mengajar atau ada guru yang mengajar
dengan penuh pengabdian namun guru ini hanya lulusan PGSD, mana mungkin dia
mampu mengembangkan kemampuan kognitif siswanya padahal kemampuannya sendiri
masih terbatas. Kedua, terkait dengan masalah sarana dan prasarana pendukung
proses belajar mengajar yang terbatas, dan ketiga terkait paradigma tentang
pendidikan dalam gereja dan masyarakat adat. Paradigma yang dimaksud adalah
pandangan anggota gereja dan masyarakat adat tentang pendidikan, dan penyaluran
ekspektasi dari golongan yang lebih tua ke generasi muda terkait masa depan
pendidikan generasi mudanya.
Karena itu, pendidikan berbasis kemampuan kognitif
tidak cocok diterapkan di Papua. Menurut hemat penulis, pendekatan pendidikan
bagi generasi muda Papua yang paling cocok adalah pendekatan yang dahulu
diterapkan oleh Belanda, yaitu pendidikan karakter.
Pengertian Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas
adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh
(UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan
tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif,
percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah
hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai
waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta
keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki
kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu
bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif
sebagai individu (intelektual,emosional,sosial,etika,danperilaku). Individu
yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan
hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa
dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi
(pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya
(perasaannya).
Konsep Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school
life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D.
(2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is
the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core
ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care
deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in
the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter
adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter
peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup
keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan
materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya1.
Secara spesifik di Papua, implementasi kurikulum dan program pendidikan karakter harus dilakukan lewat media gereja dan masyarakat adat. Salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi pendidikan karakter lewat unsur budaya local berbasis gereja dan masyarakat adat dalam kurikulum dan program pendidikan Papua.
Secara garis besar, arti penting dilakukan revitalisasi unsur budaya budaya dalam kurikulum dan program pendidikan masyarakat Papua adalah, pertama, budaya pada hakikatnya merupakan media yang memungkinkan pembangunan dapat berlangsung tanpa menimbulkan efek samping berupa terjadinya kesenjangan sosial dan alienasi. Artinya, pembangunan yang diintroduksi melalui budaya masyarakat (community-based development) memiliki tingkat resiko penolakan masyarakat “akar-rumput” yang rendah. Kedua, unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang jadi sasaran program pembangunan. Ketiga, unsur-unsur budaya punya aneka ragam fungsi—baik yang terwujud maupun yang terpendam,yang sering menjadikannya sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak di permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud.
Secara spesifik di Papua, implementasi kurikulum dan program pendidikan karakter harus dilakukan lewat media gereja dan masyarakat adat. Salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi pendidikan karakter lewat unsur budaya local berbasis gereja dan masyarakat adat dalam kurikulum dan program pendidikan Papua.
Secara garis besar, arti penting dilakukan revitalisasi unsur budaya budaya dalam kurikulum dan program pendidikan masyarakat Papua adalah, pertama, budaya pada hakikatnya merupakan media yang memungkinkan pembangunan dapat berlangsung tanpa menimbulkan efek samping berupa terjadinya kesenjangan sosial dan alienasi. Artinya, pembangunan yang diintroduksi melalui budaya masyarakat (community-based development) memiliki tingkat resiko penolakan masyarakat “akar-rumput” yang rendah. Kedua, unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang jadi sasaran program pembangunan. Ketiga, unsur-unsur budaya punya aneka ragam fungsi—baik yang terwujud maupun yang terpendam,yang sering menjadikannya sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak di permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud.
Media gereja dan masyarakat adalah komponen
masyarakat Papua yang telah ada selama ratusan tahun. Pendidikan Papua untuk
membangun orang Papua berkarakter dapat terwujud ketika kita mengintroduksi
konsep pendidikan karakter lewat saluran budaya, agar orang Papua maju, cerdas
dan berkarakter mulai.
Referensi:
Referensi:
- Artikel Pendidikan : Konsep Pendidikan Karakter [www.majalahpendidikan, 7 Mei 2013/09.16 WIB]
- Opini: Papua Membara Lagi. Harian Kompas edisi 12 Agustus 2011.
Posting Komentar