0


Ilustrasi

Oleh : Andreas Kandenapa (Koordinator Pendidikan IMAPA 2011-2013)

Gospel (Injil) secara harafiah berarti “kabar baik” (berasal dari dua suku kata Anglo-Saxon: Gospel, god + spel) sedangkan dalam bahasa Yunani Gospel diartikan sebagai evangelion atau “pewartaan”. Injil juga merujuk pada keempat kitab yang, menurut tradisi gerejawi, ditulis oleh Markus, Matius, Lukas dan Yohanes. Kitab Markus ditulis pada tahun 70-an M, Kitab Matius dan Lukas pada 80-an M sedangkan Kitab Yohanes ditulis pada 90-an M. Kitab-kitab ini pada awalnya adalah kitab anonim berupa biografi tokoh Yesus yang dibacakan dalam peribadatan sekte Yudaisme yang pada masa itu disebut Gerakan Yesus. Pada masa-masa sesudahnya, keempat kitab ini (yang disebut juga sebagai kitab sinoptik) kemudian dikaitkan masing-masing dengan tokoh Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Tokoh sentral dalam Injil adalah Yesus. Tokoh Yesus memang adalah sebuah misteri dan hingga kini masih menjadi semacam “proyek ilmiah” tersendiri untuk mengungkap “Yesus berdasarkan sejarah”. Tetapi, Yesus yang kita kenal dalam iman kristiani adalah tokoh yang digambarkan dalam injil secara khusus dan Perjanjian Baru secara umum. Pengkajian secara objektif-ilmiah memang belum secara menyeluruh memberikan gambaran jelas dan pasti tentang kelahiran, kehidupan dan wafat-Nya.

Yesus dalam iman kristiani adalah penggenapan dari “keseluruhan kitab suci” dan konsep ini memang telah menjadi pandangan umum diantara para misionaris kristen abad pertama, terutama setelah peristiwa keruntuhan Bait Allah Kedua. Pada tahun 66 M, terjadi pemberontakan bangsa Yahudi yang secara menakjubkan mampu menahan tentara Romawi selama empat tahun hingga tahun 70 M ketika Kaisar Vespasianus berhasil menaklukan Yerusalem dan meluluh lantahkan Bait Allah Kedua di Yerusalem. Ketika Bait Allah Kedua itu hancur, para pengikut “gerakan Yesus” mengalami suatu “penyingkapan” (apokalipse) atas ramalan Yesus tentang keruntuhan Bait Allah.

Kekuatan dari peristiwa apokalipse ini telah membawa begitu banyak orang, baik Yahudi maupun non-Yahudi, mengikuti ajaran para misionaris “gerakan Yesus”. Dan Injil adalah suatu maha-karya sastra yang lahir sebagai respons atas peristiwa tersebut.

Bait Allah bukan hanya sekedar tempat ibadah; Bait Allah adalah pusat seluruh tradisi bangsa Yahudi: lambang dari “kehadiran ilahi” (Ibrani; Shekinah) di tengah-tengah bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi benar-benar terpukul ketika mereka menyadari bahwa mereka harus menghadapi hari-hari depan mereka tanpa shekinah, tanpa “kehadiran ilahi”. Allah tidak lagi bisa bersemayam di tengah-tengah mereka sebab bait-Nya telah dirusak dan hancur.
Bukan hanya bermakna religius, Bait Allah juga bermakna politis: Bait Allah adalah lambang teokrasi bangsa Yahudi. Kisah Bangsa Israel yang dipimpin keluar dari Tanah Mesir dengan “tiang awan” dan “Tabut Perjanjian” hingga legenda Raja Daud dan anaknya Sulaiman menunjukan eksistensi sistem teokrasi dalam kehidupan berbangsa-bernegara bangsa Yahudi. Ketika Bait Allah hancur, kesuraman benar-benar telah menyelimuti bangsa Yahudi. Dikisahkan bahwa ketika tentara Romawi berhasil memasuki Bait Allah dan membakarnya, orang-orang Yahudi berlari ke arah mata pedang agar tertusuk atau melompat ke dalam api dan membakar diri.

Iman kristiani meyakini tokoh Yesus hadir sebagai “penggenapan” atas kitab Taurat. Tetapi, studi sejarah Alkitab menunjukan sesuatu yang lebih penting : bahwa penokohan Yesus dalam ketiga biografi sinoptik-Nya: Matius, Markus dan Lukas adalah suatu bentuk usaha untuk “menggantikan” posisi Bait Allah fisik dalam hati bangsa Yahudi dengan “bait Allah baru”, yang tidak lain adalah "penokohan pribadi" Yesus sendiri. 

Markus menulis setelah peristiwa keruntuhan Bait Allah. Komunitas eklesia-nya sedang mengalami kesulitan yang mendalam. Sebagai salah satu sekte Yahudi, kaum kristiani pada masa itu mengalami tekanan yang berat: mereka dituduh bersukacita atas keruntuhan bait Allah; mereka diperhadapkan dengan mahkamah agama dan dicambuk dalam sinagoge-sinagoge. Banyak diantara para pengikut Markus yang akhirnya kehilangan iman sehingga Markus menulis perumpamaan demikian dalam injilnya: ajaran-ajaran Yesus tampaknya jatuh ke atas "tanah yang berbatu-batu" di hati para pemimpin agama Yahudi dan di "semak berduri" dalam hati para jemaat yang imannya lemah.
Pada bagian lain terlihat adanya kesedihan yang mendalam ketika Markus dan para pengikut sekte gerakan Yesus harus menghadapi kenyataan pahit berpisah dengan Yudaisme arus utama: “Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakan kantong itu dan anggur itu dan kantongnya sama-sama akan terbuang. Tetapi, anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula".

Matius menulis ketika harapan akan kedatangan Yesus untuk kali yang kedua semakin menipis; ada keraguan dalam benak para pengikutnya. Para jemaatnya tersisihkan dari kaumnya sendiri, terus diadili di pengadilan agama dan disiksa secara fisik, tetapi ternyata tidak ada sesuatu pun yang berubah. Pertanyaan besar timbul dihati para pengikutnya: Bagaimana mungkin Kerajaan Allah itu akan datang? Matius menjawab bahwa Ia (Yesus) akan datang secara tak terduga-duga seperti pencuri dan Ia sedang bekerja dalam dunia ini laksana ragi yang mengkhamirkan adonan. 

Orang-orang Farisi pada zaman Matius adalah “para pembaharu” agama Yahudi. Orang Farisi adalah salah satu sekte Yahudi, sama seperti para pengikut Yesus, yang memimpin pembaharuan agama Yahudi setelah keruntuhan Bait Allah. 

Matius memang sepertinya menganggap orang-orang Farisi sebagai “saingan” komunitas gerakan Yesus dalam perebutan posisi “penerus” Yudaisme arus utama yang di ujung tanduk “kepunahan” akibat keruntuhan Bait Allah. Ketika orang Farisi mengajari para pengikutnya cara mengalami “kehadiran ilahi” seperti dalam Bait Allah : “Kalau dua orang berkumpul dan Taurat diperkatakan di tengah-tengah mereka, maka shekinah pun hadir”. Matius juga menulis: “...dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku berada di tengah-tengah mereka”.
Ada kerinduan yang besar dari bangsa Yahudi untuk mengalami “kehadiran ilahi” seperti pengalaman di Bait Allah. 

Di masa yang kira-kira sama dengan kitab Matius ditulis, Lukas juga berusaha menjawab permasalahan shekinah ini dalam kitabnya. Lukas memberikan suatu gambaran berharga tentang konsep shekinah dari kristianitas komunitas gerakan Yesus dalam kisah tiga orang yang sedang berjalan dari Yerusalem ke Emaus. 

Seperti halnya banyak orang kristiani pada zaman Lukas, dua orang murid Yesus ini juga sedang bingung dan sedih, tetapi di tengah jalan mereka bertemuorang asing, yang bertanya mengapa mereka menjadi sedemikian bingung dan gelisah. Lalu, mereka pun menjelaskan bahwa mereka adalah pengikut Yesus dan selama ini yakin Dia adalah Mesias. Tetapi ternyata Ia sudah disalibkan, dan lebih buruk lagi, beberapa perempuan menyebar kisah-kisah tidak menentu tentang kubur yang sudah kosong dan penampakan malaikat. 

Si orang asing itu dengan lembut mengomeli mereka: apakah mereka tidak tahu bahwa Mesias harus menderita sebelum masuk ke dalam kemuliaan-Nya? Dimulai dengan Musa, ia pun mengurai “seluruh warta” para nabi. Setelah dipaksa tinggal dan makan dengan mereka, barulah mereka sadar bahwa orang asing itu adalah Yesus sendiri saat Ia memecah-mecah roti, dan selama seharian itu mereka telah berada dalam hadirat Yesus. Tatkala Ia menghilang, mereka pun ingat bahwa hati mereka “berkobar-kobar” tatkala Ia “menerangkan kitab suci”. 

Kisah ini memperlihatkan bagaimana kondisi-kondisi dan hal-hal yang kontradiktif akhirnya dapat bersatu membentuk suatu cita rasa kesatuan, lewat suatu pencerahan sesaat seperti saat para murid menyadari bahwa si orang asing adalah Yesus sendiri.

Ketika para murid menceritakan kegundahan mereka, sebenarnya mereka sedang melakukan suatu perbuatan yang berbahaya dan sangat beresiko bagi keselamatan mereka. Tindakan mereka yang berani menceritakan masalah mereka adalah suatu tindakan iman. Dengan pertama-tama beriman, ketika mereka berkumpul “dalam dua atau tiga” orang dan mempelajari kitab suci dan membahas hubungan kitab-kitab dengan Yesus, maka teks-teks kitab suci itu “tersingkap” dan mereka pun mengalami pencerahan dalam persekutuan itu, mereka mengalami shekinah, sama seperti ketika para murid tiba-tiba menyadari bahwa orang asing itu Yesus.

Ketiga injil sinoptik ini ditulis oleh penulis yang berbeda dan ditujukan pada komunitas yang berbeda-beda. Tetapi situasi dalam komunitas eklesia mereka sama: ada ketakutan akan masa depan; ketidakpastian dan suatu situasi-sosiologis yang dikenal dengan readjustment (situasi ketika suatu komunitas termarjinalisasi dari pembangunan/perkembangan karena tidak sejalan dengan budayanya).

Ketidakpastian masa depan bangsa Yahudi dalam kungkungan imperialis Romawi, pengakuan atas budaya dan tradisi bangsa Yahudi sebagai identitas mereka yang hilang bersama reruntuhan Bait Allah, termarjinal oleh imperialisme di atas tanah airnya sendiri dan kehilangan tata negara-bangsa teokrasi. Di situasi seperti itu, makna dari injil sebagai “kabar baik” akan kedatangan sosok Mesias yang akan mendirikan suatu kerajaan Allah, yang juga membawa suatu “cara baru” untuk mengalami “kehadiran ilahi” (shekinah), adalah benar-benar suatu pencerahan yang mendamaikan dan menenangkan suatu bangsa yang putus asa akan masa depannya. Dalam konteks inilah injil menjadi benar-benar kekuatan Allah bagi bangsa Yahudi-Kristiani.

Peringatan 159 Tahun Pekabaran Injil di Tanah Papua kembali membawa orang Papua mengenang “kabar baik” yang dibawa oleh kedua rasul Papua: Otto dan Geisler. Kitab injil yang lahir dalam komunitas bangsa Yahudi yang kehilangan Bait Allah, tidak ada kepastian masa depan, mengalami marjinalisasi di atas tanahnya sendiri, tertindas oleh imperialisme yang haus kekuasaan dan kehilangan hak politik, adalah Kitab Injil yang sama dengan yang dibawa oleh Otto dan Geisler: Injil yang adalah "kekuatan" Allah.

Karena itu, secara kristologis kata-kata injil: “...tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” adalah suatu janji ilahi yang kuat. Kerajaan Allah yang dimaksud oleh sang penulis tidak lain adalah shekinah, “kehadiran Yang Ilahi di atas bumi”. Negasi dari proposisi diatas jelas: sepanjang shekinah tidak ada, maka semua itu tidak akan ditambahkan padamu. 

Bait Allah fisik itu memang tidak pernah dibangun lagi, yang tersisa hanyalah tembok ratapan di Yerusalem. Tetapi Bait Allah yang hadir lewat persekutuan bangsa Yahudi yang tertanam dalam hati mereka telah membawa mereka, melalui berbagai tantangan sangat berat, merdeka dan mendirikan negara Israel pada tahun 1948. Memang Bait Allah yang sejati adalah “Bait Allah” dalam hati, tak lekang oleh waktu dan tak bisa dihancurkan oleh siapapun. "Bait Allah" seperti ini adalah "tempat bagi shekinah" yang digerakan oleh iman pada Allah, dan pengharapan akan janji-Nya. Iman dan pengharapan itu juga yang menggerakan bangsa Yahudi percaya pada nubuat-nubuat para nabi tentang "negeri kaya anggur dan madu: Israel baru".

Dalam konteks Papua, apokalipsenya jelas: “Siapa yang bekerja diatas tanah ini dengan rajin dan jujur, maka ia akan mendapati pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang lain” dan "Diatas batu ini saya meletakan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan makrifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." (Pdt. I.S.Kijne, Manokwari 25 Oktober 1925)

Pertanyaannya adalah: Maukah Anda membangun “Bait Allah” dalam hati agar kita sebagai orang Papua dapat mengalami shekinah? Maukah Anda mengambil bagian dalam pernyataan apokalipsis Pdt.I.S.Kijne diatas? Renungkanlah..

1.    Selamat Merayakan Hari Pekabaran Injil Ke-159 Tahun di Tanah Papua!

Catatan:
  1. Alegoria (Yunani): penggunaan suatu wacana untuk menjelaskan wacana yang lain; dalam ilmu tafsir kitab suci dikenal sebagai “perumpamaan”
  2. Shekinah (Ibrani): dalam studi kitab suci diartikan “kehadiran ilahi di muka bumi”
  3. Apokalipse, apokalipsis (Yunani): secara harafiah berarti “penyingkapan” atau “pewahyuan”

Posting Komentar

 
Top