Gospel (Injil)
secara harafiah berarti “kabar baik” (berasal dari dua suku kata Anglo-Saxon:
Gospel, god + spel) sedangkan dalam bahasa Yunani Gospel diartikan sebagai
evangelion atau “pewartaan”. Injil juga merujuk pada keempat kitab yang,
menurut tradisi gerejawi, ditulis oleh Markus, Matius, Lukas dan Yohanes. Kitab
Markus ditulis pada tahun 70-an M, Kitab Matius dan Lukas pada 80-an M
sedangkan Kitab Yohanes ditulis pada 90-an M. Kitab-kitab ini pada awalnya
adalah kitab anonim berupa biografi tokoh Yesus yang dibacakan dalam
peribadatan sekte Yudaisme yang pada masa itu disebut Gerakan Yesus. Pada
masa-masa sesudahnya, keempat kitab ini (yang disebut juga sebagai kitab
sinoptik) kemudian dikaitkan masing-masing dengan tokoh Matius, Markus, Lukas
dan Yohanes.
Tokoh sentral
dalam Injil adalah Yesus. Tokoh Yesus memang adalah sebuah misteri dan hingga
kini masih menjadi semacam “proyek ilmiah” tersendiri untuk mengungkap “Yesus
berdasarkan sejarah”. Tetapi, Yesus yang kita kenal dalam iman kristiani adalah
tokoh yang digambarkan dalam injil secara khusus dan Perjanjian Baru secara
umum. Pengkajian secara objektif-ilmiah memang belum secara menyeluruh memberikan
gambaran jelas dan pasti tentang kelahiran, kehidupan dan wafat-Nya.
Yesus dalam iman
kristiani adalah penggenapan dari “keseluruhan kitab suci” dan konsep ini
memang telah menjadi pandangan umum diantara para misionaris kristen abad
pertama, terutama setelah peristiwa keruntuhan Bait Allah Kedua. Pada tahun 66
M, terjadi pemberontakan bangsa Yahudi yang secara menakjubkan mampu menahan
tentara Romawi selama empat tahun hingga tahun 70 M ketika Kaisar Vespasianus
berhasil menaklukan Yerusalem dan meluluh lantahkan Bait Allah Kedua di
Yerusalem. Ketika Bait Allah Kedua itu hancur, para pengikut “gerakan Yesus”
mengalami suatu “penyingkapan” (apokalipse) atas ramalan Yesus tentang
keruntuhan Bait Allah.
Kekuatan dari
peristiwa apokalipse ini telah membawa begitu banyak orang, baik Yahudi maupun
non-Yahudi, mengikuti ajaran para misionaris “gerakan Yesus”. Dan Injil adalah
suatu maha-karya sastra yang lahir sebagai respons atas peristiwa tersebut.
Bait Allah bukan hanya sekedar tempat ibadah; Bait Allah adalah pusat seluruh tradisi bangsa Yahudi: lambang dari “kehadiran ilahi” (Ibrani; Shekinah) di tengah-tengah bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi benar-benar terpukul ketika mereka menyadari bahwa mereka harus menghadapi hari-hari depan mereka tanpa shekinah, tanpa “kehadiran ilahi”. Allah tidak lagi bisa bersemayam di tengah-tengah mereka sebab bait-Nya telah dirusak dan hancur.
Bait Allah bukan hanya sekedar tempat ibadah; Bait Allah adalah pusat seluruh tradisi bangsa Yahudi: lambang dari “kehadiran ilahi” (Ibrani; Shekinah) di tengah-tengah bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi benar-benar terpukul ketika mereka menyadari bahwa mereka harus menghadapi hari-hari depan mereka tanpa shekinah, tanpa “kehadiran ilahi”. Allah tidak lagi bisa bersemayam di tengah-tengah mereka sebab bait-Nya telah dirusak dan hancur.
Bukan hanya
bermakna religius, Bait Allah juga bermakna politis: Bait Allah adalah lambang
teokrasi bangsa Yahudi. Kisah Bangsa Israel yang dipimpin keluar dari Tanah
Mesir dengan “tiang awan” dan “Tabut Perjanjian” hingga legenda Raja Daud dan
anaknya Sulaiman menunjukan eksistensi sistem teokrasi dalam kehidupan
berbangsa-bernegara bangsa Yahudi. Ketika Bait Allah hancur, kesuraman
benar-benar telah menyelimuti bangsa Yahudi. Dikisahkan bahwa ketika tentara
Romawi berhasil memasuki Bait Allah dan membakarnya, orang-orang Yahudi berlari
ke arah mata pedang agar tertusuk atau melompat ke dalam api dan membakar diri.
Iman kristiani meyakini
tokoh Yesus hadir sebagai “penggenapan” atas kitab Taurat. Tetapi, studi
sejarah Alkitab menunjukan sesuatu yang lebih penting : bahwa penokohan Yesus
dalam ketiga biografi sinoptik-Nya: Matius, Markus dan Lukas adalah suatu
bentuk usaha untuk “menggantikan” posisi Bait Allah fisik dalam hati bangsa
Yahudi dengan “bait Allah baru”, yang tidak lain adalah "penokohan
pribadi" Yesus sendiri.
Markus menulis
setelah peristiwa keruntuhan Bait Allah. Komunitas eklesia-nya sedang mengalami
kesulitan yang mendalam. Sebagai salah satu sekte Yahudi, kaum kristiani pada
masa itu mengalami tekanan yang berat: mereka dituduh bersukacita atas
keruntuhan bait Allah; mereka diperhadapkan dengan mahkamah agama dan dicambuk
dalam sinagoge-sinagoge. Banyak diantara para pengikut Markus yang akhirnya
kehilangan iman sehingga Markus menulis perumpamaan demikian dalam injilnya:
ajaran-ajaran Yesus tampaknya jatuh ke atas "tanah yang berbatu-batu"
di hati para pemimpin agama Yahudi dan di "semak berduri" dalam hati
para jemaat yang imannya lemah.
Pada bagian lain
terlihat adanya kesedihan yang mendalam ketika Markus dan para pengikut sekte
gerakan Yesus harus menghadapi kenyataan pahit berpisah dengan Yudaisme arus
utama: “Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju
yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru
mencabik yang tua lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorang pun
mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian
anggur itu akan mengoyakan kantong itu dan anggur itu dan kantongnya sama-sama
akan terbuang. Tetapi, anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang
baru pula".
Matius menulis
ketika harapan akan kedatangan Yesus untuk kali yang kedua semakin menipis; ada
keraguan dalam benak para pengikutnya. Para jemaatnya tersisihkan dari kaumnya
sendiri, terus diadili di pengadilan agama dan disiksa secara fisik, tetapi
ternyata tidak ada sesuatu pun yang berubah. Pertanyaan besar timbul dihati
para pengikutnya: Bagaimana mungkin Kerajaan Allah itu akan datang? Matius
menjawab bahwa Ia (Yesus) akan datang secara tak terduga-duga seperti pencuri
dan Ia sedang bekerja dalam dunia ini laksana ragi yang mengkhamirkan adonan.
Orang-orang
Farisi pada zaman Matius adalah “para pembaharu” agama Yahudi. Orang Farisi
adalah salah satu sekte Yahudi, sama seperti para pengikut Yesus, yang memimpin
pembaharuan agama Yahudi setelah keruntuhan Bait Allah.
Matius memang
sepertinya menganggap orang-orang Farisi sebagai “saingan” komunitas gerakan
Yesus dalam perebutan posisi “penerus” Yudaisme arus utama yang di ujung tanduk
“kepunahan” akibat keruntuhan Bait Allah. Ketika orang Farisi mengajari para
pengikutnya cara mengalami “kehadiran ilahi” seperti dalam Bait Allah : “Kalau
dua orang berkumpul dan Taurat diperkatakan di tengah-tengah mereka, maka
shekinah pun hadir”. Matius juga menulis: “...dimana dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku berada di tengah-tengah mereka”.
Ada kerinduan yang besar dari bangsa Yahudi untuk mengalami “kehadiran ilahi” seperti pengalaman di Bait Allah.
Ada kerinduan yang besar dari bangsa Yahudi untuk mengalami “kehadiran ilahi” seperti pengalaman di Bait Allah.
Di masa yang
kira-kira sama dengan kitab Matius ditulis, Lukas juga berusaha menjawab
permasalahan shekinah ini dalam kitabnya. Lukas memberikan suatu gambaran
berharga tentang konsep shekinah dari kristianitas komunitas gerakan Yesus
dalam kisah tiga orang yang sedang berjalan dari Yerusalem ke Emaus.
Seperti halnya banyak orang kristiani pada zaman Lukas, dua orang murid Yesus ini juga sedang bingung dan sedih, tetapi di tengah jalan mereka bertemuorang asing, yang bertanya mengapa mereka menjadi sedemikian bingung dan gelisah. Lalu, mereka pun menjelaskan bahwa mereka adalah pengikut Yesus dan selama ini yakin Dia adalah Mesias. Tetapi ternyata Ia sudah disalibkan, dan lebih buruk lagi, beberapa perempuan menyebar kisah-kisah tidak menentu tentang kubur yang sudah kosong dan penampakan malaikat.
Si orang asing
itu dengan lembut mengomeli mereka: apakah mereka tidak tahu bahwa Mesias harus
menderita sebelum masuk ke dalam kemuliaan-Nya? Dimulai dengan Musa, ia pun
mengurai “seluruh warta” para nabi. Setelah dipaksa tinggal dan makan dengan
mereka, barulah mereka sadar bahwa orang asing itu adalah Yesus sendiri saat Ia
memecah-mecah roti, dan selama seharian itu mereka telah berada dalam hadirat
Yesus. Tatkala Ia menghilang, mereka pun ingat bahwa hati mereka
“berkobar-kobar” tatkala Ia “menerangkan kitab suci”.
Kisah ini
memperlihatkan bagaimana kondisi-kondisi dan hal-hal yang kontradiktif akhirnya
dapat bersatu membentuk suatu cita rasa kesatuan, lewat suatu pencerahan sesaat
seperti saat para murid menyadari bahwa si orang asing adalah Yesus sendiri.
Ketika para murid
menceritakan kegundahan mereka, sebenarnya mereka sedang melakukan suatu
perbuatan yang berbahaya dan sangat beresiko bagi keselamatan mereka. Tindakan
mereka yang berani menceritakan masalah mereka adalah suatu tindakan iman.
Dengan pertama-tama beriman, ketika mereka berkumpul “dalam dua atau tiga”
orang dan mempelajari kitab suci dan membahas hubungan kitab-kitab dengan
Yesus, maka teks-teks kitab suci itu “tersingkap” dan mereka pun mengalami
pencerahan dalam persekutuan itu, mereka mengalami shekinah, sama seperti
ketika para murid tiba-tiba menyadari bahwa orang asing itu Yesus.
Ketiga injil
sinoptik ini ditulis oleh penulis yang berbeda dan ditujukan pada komunitas
yang berbeda-beda. Tetapi situasi dalam komunitas eklesia mereka sama: ada
ketakutan akan masa depan; ketidakpastian dan suatu situasi-sosiologis yang
dikenal dengan readjustment (situasi ketika suatu komunitas termarjinalisasi
dari pembangunan/perkembangan karena tidak sejalan dengan budayanya).
Ketidakpastian
masa depan bangsa Yahudi dalam kungkungan imperialis Romawi, pengakuan atas
budaya dan tradisi bangsa Yahudi sebagai identitas mereka yang hilang bersama
reruntuhan Bait Allah, termarjinal oleh imperialisme di atas tanah airnya
sendiri dan kehilangan tata negara-bangsa teokrasi. Di situasi seperti itu,
makna dari injil sebagai “kabar baik” akan kedatangan sosok Mesias yang akan
mendirikan suatu kerajaan Allah, yang juga membawa suatu “cara baru” untuk
mengalami “kehadiran ilahi” (shekinah), adalah benar-benar suatu pencerahan
yang mendamaikan dan menenangkan suatu bangsa yang putus asa akan masa
depannya. Dalam konteks inilah injil menjadi benar-benar kekuatan Allah bagi
bangsa Yahudi-Kristiani.
Peringatan 159 Tahun Pekabaran Injil di Tanah Papua kembali membawa orang Papua mengenang “kabar baik” yang dibawa oleh kedua rasul Papua: Otto dan Geisler. Kitab injil yang lahir dalam komunitas bangsa Yahudi yang kehilangan Bait Allah, tidak ada kepastian masa depan, mengalami marjinalisasi di atas tanahnya sendiri, tertindas oleh imperialisme yang haus kekuasaan dan kehilangan hak politik, adalah Kitab Injil yang sama dengan yang dibawa oleh Otto dan Geisler: Injil yang adalah "kekuatan" Allah.
Karena itu, secara kristologis kata-kata injil: “...tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” adalah suatu janji ilahi yang kuat. Kerajaan Allah yang dimaksud oleh sang penulis tidak lain adalah shekinah, “kehadiran Yang Ilahi di atas bumi”. Negasi dari proposisi diatas jelas: sepanjang shekinah tidak ada, maka semua itu tidak akan ditambahkan padamu.
Peringatan 159 Tahun Pekabaran Injil di Tanah Papua kembali membawa orang Papua mengenang “kabar baik” yang dibawa oleh kedua rasul Papua: Otto dan Geisler. Kitab injil yang lahir dalam komunitas bangsa Yahudi yang kehilangan Bait Allah, tidak ada kepastian masa depan, mengalami marjinalisasi di atas tanahnya sendiri, tertindas oleh imperialisme yang haus kekuasaan dan kehilangan hak politik, adalah Kitab Injil yang sama dengan yang dibawa oleh Otto dan Geisler: Injil yang adalah "kekuatan" Allah.
Karena itu, secara kristologis kata-kata injil: “...tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” adalah suatu janji ilahi yang kuat. Kerajaan Allah yang dimaksud oleh sang penulis tidak lain adalah shekinah, “kehadiran Yang Ilahi di atas bumi”. Negasi dari proposisi diatas jelas: sepanjang shekinah tidak ada, maka semua itu tidak akan ditambahkan padamu.
Bait Allah fisik
itu memang tidak pernah dibangun lagi, yang tersisa hanyalah tembok ratapan di
Yerusalem. Tetapi Bait Allah yang hadir lewat persekutuan bangsa Yahudi yang
tertanam dalam hati mereka telah membawa mereka, melalui berbagai tantangan
sangat berat, merdeka dan mendirikan negara Israel pada tahun 1948. Memang Bait
Allah yang sejati adalah “Bait Allah” dalam hati, tak lekang oleh waktu dan tak
bisa dihancurkan oleh siapapun. "Bait Allah" seperti ini adalah
"tempat bagi shekinah" yang digerakan oleh iman pada Allah, dan
pengharapan akan janji-Nya. Iman dan pengharapan itu juga yang menggerakan
bangsa Yahudi percaya pada nubuat-nubuat para nabi tentang "negeri kaya anggur
dan madu: Israel baru".
Dalam konteks
Papua, apokalipsenya jelas: “Siapa yang bekerja diatas tanah ini dengan rajin
dan jujur, maka ia akan mendapati pendapatan heran yang satu ke pendapatan
heran yang lain” dan "Diatas batu ini saya meletakan peradaban orang
Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan makrifat,
tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin
dirinya sendiri." (Pdt. I.S.Kijne, Manokwari 25 Oktober 1925)
Pertanyaannya
adalah: Maukah Anda membangun “Bait Allah” dalam hati agar kita sebagai orang
Papua dapat mengalami shekinah? Maukah Anda mengambil bagian dalam pernyataan
apokalipsis Pdt.I.S.Kijne diatas? Renungkanlah..
1.
Selamat Merayakan Hari Pekabaran
Injil Ke-159 Tahun di Tanah Papua!
Catatan:
Catatan:
- Alegoria (Yunani): penggunaan suatu wacana untuk menjelaskan wacana yang lain; dalam ilmu tafsir kitab suci dikenal sebagai “perumpamaan”
- Shekinah (Ibrani): dalam studi kitab suci diartikan “kehadiran ilahi di muka bumi”
- Apokalipse, apokalipsis (Yunani): secara harafiah berarti “penyingkapan” atau “pewahyuan”
Posting Komentar